Di sebuah rumah kecil di pintu masuk Desa Bo, suara gong bergema lembut di tengah gerimis sore bulan Juni. Pak Van membongkar setiap gong yang dibungkus rapi, membersihkannya dengan teliti, lalu menggunakan palu kecil untuk mengetuk pinggiran gong dengan lembut guna menyesuaikan suaranya.
Ada beberapa pria lain di sampingnya. Mereka duduk melingkar di sekitar gong, nyaris tak berbicara, hanya mendengarkan bunyinya dengan saksama dan berkomunikasi dengan mata mereka. Sesekali, mereka menunjuk ke sebuah gong dan menggelengkan kepala atau mengangguk kecil.

Pak Van berkata: “Sejak kecil, saya mengikuti ayah saya menyetem gong di semua desa di wilayah ini. Melihat ayah saya menyetem gong, saya terpesona, mencoba belajar sedikit demi sedikit agar bisa sehebat beliau. Saat menyetem gong, kita harus mendengarkan dengan telinga dan merasakan dengan hati untuk mengetahui di mana letak gongnya, di mana bunyinya pecah.”
Di usianya yang telah menginjak 60 tahun, Bapak Ro Cham Oi masih rutin menghadiri sesi latihan tim sebagai cara untuk menginspirasi dan menjaga semangat gong tradisional bagi generasi muda di desa. Bapak Oi tidak ingat kapan ia belajar bermain gong, tetapi ia ingat bahwa sejak muda ia terpesona mengikuti ayah dan pamannya memainkan gong di berbagai festival di desa.
Berkat pengalamannya selama puluhan tahun dengan gong, Pak Oi sangat "waspada" dalam mendeteksi gong yang bunyinya salah. "Gong yang sudah lama dimainkan atau dipindahkan jauh mudah dipukul, sehingga menimbulkan bunyi yang salah. Oleh karena itu, saya harus menyesuaikannya agar bunyinya tepat saat dimainkan, sesuai dengan semangat gong desa saya," kata Pak Oi.

Senada dengan itu, Bapak Ro Cham Hit-Chi, ketua Ikatan Veteran Desa Bo, juga merupakan sosok yang sangat menggemari gong. Beliau selalu hadir di hampir setiap sesi penalaan gong atau latihan tim gong untuk berpartisipasi dan membimbing generasi muda dengan sepenuh hati. "Kalau saya tidak ikut, saya merasa kurang dan gelisah karena gong bukan hanya tradisi bangsa, tetapi juga darah daging saya," tegasnya.
Setelah selesai berbicara, Pak Hit berbalik untuk memberi instruksi kepada anak laki-laki berusia 3-4 tahun, putra Pak Ro Cham Tak, yang duduk dengan riang di sebelahnya. Anak itu berdiri dekat gong, matanya tak lepas dari gerakan para pria dan wanita. "Anak itu suka gong, setiap kali melihat gong, ia terpesona, dan langsung ikut memainkannya. Jadi, setiap kali kami berlatih atau saat ada perayaan di desa, saya mengajak anak saya agar ia terbiasa, mencintai budayanya, dan ketika ia besar nanti, ia akan memainkan gong untuk saya, melanjutkan tradisi desa," ungkap Pak Tak.

Berkat orang-orang yang berdedikasi dan bertanggung jawab terhadap warisan bangsa seperti Bapak Van, Bapak Oi, Bapak Hit, Bapak Tak, dan sebagainya, selama bertahun-tahun, gerakan gong di Desa Bo senantiasa terpelihara dan terus berkembang. Tim gong desa juga secara rutin berpartisipasi dalam pertunjukan dan pertukaran budaya di berbagai program dan festival budaya, baik skala besar maupun kecil. Baru-baru ini, lebih dari 30 anggota (termasuk tim gong dan tim xoang) Desa Bo mewakili Komune Ia Yok untuk berpartisipasi dalam festival budaya gong tingkat distrik Ia Grai pada tahun 2024 dan meraih juara kedua dengan gemilang.
"Gong harus hidup dalam kehidupan sehari-hari, dalam perayaan, dan di hati penduduk desa. Kita tidak bisa membiarkan gong hanya berada di panggung atau di museum. Oleh karena itu, melestarikan dan mempromosikan identitas budaya gong adalah hal yang perlu dan harus kita lakukan," tegas Van.
Sumber: https://baogialai.com.vn/nhung-nguoi-tam-huyet-voi-cong-chieng-o-ia-yok-post328310.html
Komentar (0)