Dengan menggunakan kamera dan sensor, drone yang dikendalikan AI mengalahkan pilot dengan kecepatan tinggi melalui lintasan penuh rintangan.
Drone yang dikendalikan AI berlomba dengan drone yang dikendalikan manusia. Video : UZH
Sistem otonom Swift mengalahkan tiga pilot drone profesional dalam 15 dari 25 balapan di lintasan penuh tikungan dan rintangan yang dirancang oleh pilot drone profesional, demikian laporan Science Alert pada 31 Agustus. Sistem ini menggabungkan algoritma AI dengan kamera dan banyak sensor bawaan untuk mendeteksi lingkungan dan pergerakan drone.
Swift dirancang oleh Elia Kaufmann, seorang insinyur robotika di Universitas Zurich, dan para peneliti di Intel Labs. Mereka bertujuan untuk menciptakan sistem yang tidak bergantung pada input dari kamera bergerak eksternal seperti drone balap otonom sebelumnya.
"Mencapai kinerja setara pilot profesional dengan drone otonom merupakan tantangan tersendiri karena drone harus terbang dalam batas fisiknya, sambil memperkirakan kecepatan dan posisi di lintasan hanya menggunakan sensor internal," ujar tim tersebut.
Pilot mengenakan kacamata khusus yang memberikan pandangan "orang pertama" (seolah-olah duduk di dalam drone) melalui kamera yang terpasang pada drone. Drone ini dapat mencapai kecepatan 100 km/jam.
Demikian pula, Swift memiliki kamera internal dan sensor inersia untuk mengukur akselerasi dan rotasi drone. Data ini dianalisis oleh dua algoritma AI untuk menentukan posisi drone relatif terhadap rintangan dan mengeluarkan perintah kontrol yang sesuai.
Meskipun kalah 40% dalam perlombaan, Swift mengalahkan pilot beberapa kali dan mencapai catatan waktu lomba tercepat, setengah detik lebih cepat dari catatan waktu terbaik manusia.
"Secara keseluruhan, rata-rata selama keseluruhan lintasan, drone otonom mencapai kecepatan rata-rata tertinggi, menemukan rute terpendek, dan berhasil mempertahankan performanya mendekati batasnya sepanjang balapan," ujar Kaufmann dan rekan-rekannya.
Inovasi sesungguhnya dalam Swift, kata Guido de Croon, seorang ahli robotika di Universitas Teknologi Delft di Belanda, adalah jaringan saraf kedua yang digunakannya, menggunakan pembelajaran penguatan mendalam. Swift bukanlah sistem drone pertama yang terbang di sekitar rintangan, tetapi ia melakukannya dengan akurasi yang luar biasa. Penelitian baru ini dipublikasikan di jurnal Nature.
Thu Thao (Menurut Science Alert )
[iklan_2]
Tautan sumber
Komentar (0)