Ketika Vo Thi Nhung menikah pada tahun 2018, ia adalah seorang guru prasekolah di Vietnam. Pada tahun 2020, Nhung hamil dan berhenti dari pekerjaannya untuk pindah ke Korea bersama suaminya (Tran Anh Dong).
Pada Maret 2021, putra mereka (Tran Viet Bach) lahir di Kota Hwaseong, Provinsi Gyeonggi. Pada November 2022, pasangan ini menitipkan anak mereka ke tempat penitipan anak. Namun, 5 hari kemudian, Bach meninggal dunia di tempat tersebut.
Menurut The Korea Times , hasil otopsi menunjukkan bahwa anak laki-laki itu meninggal karena mati lemas. Penyidik polisi mengatakan guru TK tersebut ingin memaksa anak laki-laki itu tidur dan menggunakan kekerasan untuk menekannya selama 15 menit.
Jaksa menuntut hukuman 30 tahun penjara bagi guru tersebut, yang mengatakan kematian bayi tersebut merupakan pembunuhan akibat kelalaian berat, sementara terdakwa mengatakan itu adalah "kecelakaan." Hakim menjatuhkan hukuman 19 tahun penjara bulan lalu.
Pasangan itu mengajukan banding, dengan alasan hukuman tersebut tidak cukup memberikan efek jera. "Sembilan belas tahun tidak masuk akal," kata Tran kepada The Korea Times . "Dia membunuh seorang anak dan hanya dihukum 19 tahun penjara? Kami sedang memperjuangkan agar dia dihukum lebih dari 19 tahun."
Tran Anh Dong dan putranya di rumah saat ia masih hidup. Foto: The Korea Times
Pak Tran masih ingat gambaran putranya yang sehat. "Dia benar-benar sehat, makan dengan baik, dan tidur nyenyak. Lalu, putra saya tiba-tiba meninggal dunia. Sulit untuk menerimanya," ungkapnya kepada The Korea Times .
Masyarakat Korea telah berulang kali dikejutkan oleh kasus-kasus pelecehan anak. Menurut para ahli, pelecehan terutama terjadi di rumah, tetapi ada juga kasus anak-anak yang dilecehkan oleh guru di tempat penitipan anak.
Tuan Tran dan istrinya merasa bersalah karena menyekolahkan putra mereka di tempat penitipan anak.
"Saya menjalani operasi punggung dan istri saya akan bersekolah," tambah Tran. "Kami membutuhkan bantuan dan menganggap penitipan anak sebagai solusi. Kalau dipikir-pikir lagi, kami egois. Saya bisa saja menunda operasinya. Dia bisa saja bersekolah lebih lambat."
Hampir enam bulan setelah kejadian, pasangan itu mengonsumsi pil tidur dan menjalani perawatan psikologis. "Kami merasa seperti telah membunuh anak kami," aku Tran. Pasangan itu tidak memberi tahu orang tua mereka secara pasti apa yang telah terjadi. "Kami hanya mengatakan dia telah meninggal, bukan penyebab sebenarnya," kata Tran. "Kami tidak ingin mengatakan yang sebenarnya kepada mereka karena mereka akan khawatir dan jatuh sakit."
Vo Thi Nhung dan putranya. Foto: The Korea Times
Pasangan ini juga menjalani kehidupan yang sulit di Korea. Tran mengalami cedera saat bekerja, tetapi majikannya di Korea menolak untuk membiayai perawatannya. Ia harus menanggung sendiri biaya operasinya. Saat ini, pasangan ini bergantung pada pendapatan Nhung. Nhung memiliki visa pelajar dan mendapatkan sedikit penghasilan dari pekerjaan paruh waktunya.
Meski begitu, Pak Tran mengatakan pasangan itu "masih ingin menetap di Korea dan memulai keluarga, tapi tidak sekarang. Kalau kami punya anak, kami tidak akan menitipkannya ke tempat penitipan anak sampai dia bisa bicara."
Kang Hee-soo, yang mengelola sebuah organisasi nirlaba, yakin anak itu bisa diselamatkan jika staf lebih berhati-hati. Ia menekankan bahwa undang-undang yang berlaku di Korea Selatan perlu diubah agar orang tua dapat mengakses CCTV secara teratur dan mudah. "Hanya dengan begitu, staf di tempat penitipan anak akan lebih berhati-hati," ujar Kang kepada The Korea Times.
[iklan_2]
Sumber
Komentar (0)