Memanen padi di kampung halaman saya - Foto: NGUYEN PHONG CHAU
"Musim ini, pedesaan sedang bersiap memanen padi musim dingin-semi. Saya ingat ketika ayah saya membawa karung-karung beras ke halaman untuk dijemur, aroma padi matang dan jerami menjadi kenangan yang tak terlupakan," ujarnya. Kemudian ia menunjukkan gambar sawah keemasan, dengan pegunungan di kejauhan.
Kampung halaman saya ada di pegunungan. Baru sekitar sepuluh tahun lebih kami punya saluran irigasi menuju sawah. Dulu, petani hanya memandang langit dan bumi untuk bercocok tanam...
Mungkin itulah sebabnya saya menyukai hidangan sederhana ala pedesaan dan menghargai setiap butir nasi yang harum di atas panci. Setiap kali kami makan bersama, saya masih menggunakan kuahnya untuk membilas setiap butir nasi yang tersisa di mangkuk bersama.
Dulu, semasa hidup nenek saya, beliau sering berpesan agar saya tidak membuang sebutir beras pun karena itu adalah "mutiara dari surga". Nenek saya hidup melewati perang dan penjatahan, banyak kesulitan, banyak kali kelaparan dan kekurangan pakaian, jadi beliau sangat menghargai setiap butir beras dan setiap suapan nasi.
Mendengarmu bicara membuatku merasa kasihan. Aku bahkan lebih kasihan pada kerinduanmu pada masakan ibumu. "Bagiku, masakan rumahan tak pernah membosankan." Aku juga suka masakan rumahan sepertimu. Mungkin itu sebabnya aku punya perasaan. Lalu, cinta!
Saya ingat terakhir kali saya mengunjungi kampung halaman, ibu saya memasak hidangan sederhana untuk tamu. Bumbu daerah Tengah agak asin, mungkin karena menghemat bahan makanan?
Dia tidak menjelaskan, tapi setuju. Saya bilang saya suka nangka muda rebus buatan ibu saya, katanya itu hidangan yang disukai banyak orang. Kupas nangka muda, potong-potong besar, taruh di atas kompor, tambahkan sedikit minyak goreng, bumbui sesuai selera, lalu tambahkan air untuk merebus, didihkan hingga kering. Rempah-rempahnya meresap ke setiap potongan nangka, rasa lemak, harum, asin, dan manisnya berpadu sempurna dengan nasi.
Kangkung rumahan yang dimasak dengan udang goreng menghasilkan sup yang tak tertahankan. Di sore yang malas, setelah badai musim panas pertama, semua orang berkumpul.
Suara sumpit beradu pelan di mangkuk, lalu ibuku mengingatkan: "Makanlah sepuasnya, lain kali pamanmu pergi ke Saigon, ajak dia makan di sana." Seluruh keluarga tertawa riang. "Kamu bilang begitu, tapi tidak mudah bagimu untuk pergi ke sana," kata kakak iparmu.
[iklan_2]
Sumber
Komentar (0)