Orang Tay di sini hidup seperti nenek moyang mereka: tenang, gigih, dan penuh kasih. Sebuah tempat yang tak membutuhkan museum, karena setiap langkah, setiap pandangan adalah warisan.
MASUK GERBANG
Desa Thai Hai di pagi hari setelah hujan semalaman, ketika udara masih dipenuhi aroma tanah lembap dan dedaunan masih menyimpan butiran mutiara surgawi. Hujan itu bagaikan penyucian, mengembalikan kesegaran alami tanah ini yang tak terduga. Menatap langit biru cerah, tempat layang-layang anak-anak beterbangan bagai goresan tinta halus di atas kertas sutra, saya bertanya-tanya: apakah alam telah "memusatkan" segala kelembutan dan kemurniannya hanya pada tempat ini?
Pintu masuk rumah panggung di Desa Thai Hai, dinaungi bambu hijau. Foto: Nguyen Hanh
Thai Hai terletak di lembah hijau yang rimbun, hanya sekitar setengah jam berkendara dari kota Thai Nguyen. Namun, ketika tiba, rasanya seperti baru saja melewati gerbang waktu, memasuki dunia paralel di mana tak ada klakson mobil yang keras, tak ada beton dingin, melainkan hanya suara burung, tawa, dan suara merdu kentongan bambu yang tergantung di gerbang desa. Berdiri cukup lama di depan gerbang bambu sederhana itu, di mana terdapat sumur jernih dan kentongan bambu yang menunggu untuk dibangunkan. "Cuci tangan, ketuk kentongan sebelum memasuki desa, itulah ritual desa," ujar Wakil Kepala Desa, Le Thi Nga, sambil tersenyum dan menasihati. Ini bukan sekadar ritual, melainkan seperti ritual spiritual, sebuah cara untuk membersihkan debu kota, memasuki desa dengan rasa hormat dan mata jernih.
Di ruang terang itu, mendengarkan kisah-kisah tentang desa bagaikan mendengarkan sepenggal kenangan bangsa. Ia mengajak kami menyusuri setiap sudut kecil desa—yang ia sebut "area kenangan". Setiap pilar kayu, setiap dinding yang ternoda waktu, setiap alat tenun, setiap kendi air bukan sekadar objek, melainkan saksi. "Tak ada museum yang sebanding dengan desa yang hidup," ujarnya, tatapannya kosong seolah menyentuh kedalaman sejarah.
KENANGAN DI RUMPUT MUDA
Di Thai Hai, sekitar tiga puluh rumah tangga suku Tay hidup bersama seperti keluarga besar. Mereka makan bersama, bekerja bersama, dan melestarikan setiap rumah panggung, setiap lagu, setiap ritual kuno seolah-olah itu adalah darah daging mereka, napas mereka yang tak tergantikan. Tidak ada slogan-slogan yang menyerukan pelestarian budaya karena di sini, budaya bukan dalam buku, bukan di balik lemari kaca, melainkan hidup dan hadir dalam setiap gerak tubuh, setiap tatapan, setiap lagu pengantar tidur di sore musim panas.
Kemudian nyanyian dibawakan oleh kepala desa, Ibu Le Thi Nga dan saudara-saudara perempuannya. Foto: Nguyen Hanh
Anak-anak desa mengenakan kostum tradisional Tay, sealami rumput dan pepohonan yang mengenakan warna hijau. Mereka bermain sepak bola di rerumputan di belakang rumah panggung, berlari dan berteriak dalam bahasa ibu mereka—bahasa yang terdengar sejernih embun di dahan-dahan, seperti suara yang menggema dari kenangan akan kampung halaman mereka dulu, di mana juga terdapat musim panas yang berlumpur dan ramai, penuh cinta.
Tawa anak-anak desa saat bermain sepak bola. Foto: Nguyen Hanh
Sungguh menyentuh berbicara dengan seorang perempuan tua yang telah tinggal di sini selama hampir dua dekade. Ia berbicara perlahan, suaranya serak seperti desiran angin yang merayap di antara dinding bambu: "Di sini aku bisa menjadi diriku sendiri. Di sini... hidup dengan sungguh-sungguh, bekerja dengan sungguh-sungguh. Anak-anak tumbuh besar dengan nyanyian mereka, dengan dongeng yang nyata, tanpa kepalsuan."
Ibu Le Thi Hao, yang telah menjadi bagian dari desa ini selama hampir dua dekade. Foto: Nguyen Hanh
Diundang makan Banh Gai—kue pedesaan yang rasanya masih lengket di jari-jari. Minum teh Thailand—bukan teh kemasan industri, melainkan teh yang dipanggang, diremas, dan diseduh dalam teko tanah liat tua, harumnya seperti napas ibu. Semua itu memang tidak mewah, tidak menarik, tetapi mampu menenangkan hati dengan lembut.
TEMPAT TRADISI TANPA FOSIL
Thai Hai tidak berusaha menjadi desa wisata teladan. Mereka tidak menggelar panggung tari xoè, juga tidak menarik pengunjung dengan kostum yang rumit. Mereka hanya menjalani hidup, dan kesederhanaan itu menciptakan daya tarik yang unik, seperti angin sejuk di tengah panasnya urbanisasi.
Rumah panggung di desa Thai Hai. Foto: Nguyen Hanh
Meninggalkan Thai Hai saat matahari sore mulai terbenam. Angin membawa aroma rumput yang baru dipotong bercampur aroma tanah sehabis hujan. Anak yang bermain sepak bola pagi ini masih berdiri di halaman, melambaikan tangan dengan senyum cerah. Lambaian itu tidak terburu-buru, tidak terburu-buru, tetapi menenangkan hati bagai aliran sungai yang jernih. Seberapa besar seseorang harus mencintai hidup ini agar dapat mempertahankan senyum riang seperti itu?
Ada detail-detail kecil yang tersimpan bagai harta karun: mata berbinar seorang anak ketika ia menyerahkan secangkir air; tangan keriput seorang perempuan tua ketika ia memegang daun dong; anggukan tenang seorang lelaki yang baru pulang dari ladang. Semuanya seolah berbisik bahwa: di sini, orang-orang hidup bersama dengan penuh kebaikan.
Wakil rakyat sedang berbicara dengan anak-anak di desa. Foto: Nguyen Hanh
Di dunia yang semakin ramai dan terburu-buru, Thai Hai adalah nada yang lembut, mendalam, dan penuh gairah. Ia mengajarkan nilai kehidupan sejati, tentang rasa syukur, dan bagaimana melestarikan kenangan bukan dengan semen dan baja, melainkan dengan cinta, dengan pengulangan setiap hari, dengan lagu pengantar tidur yang lembut dan tatapan mata yang penuh toleransi.
Thai Hai mungkin tidak memukau orang dengan lanskapnya yang megah. Namun, kesederhanaan, ketulusan, dan kebaikannyalah yang menyentuh lapisan jiwa terdalam - sebuah tempat yang masih percaya bahwa cinta, sekecil apa pun, dapat menyelamatkan seluruh budaya. Thai Hai mengingatkan kita pada hal yang sederhana namun agung: cinta adalah warisan terbesar umat manusia, hal yang membuat sebuah desa dan sebuah bangsa tak pernah binasa.
Hanh Nguyen - Vietnamnet.vn
Sumber: https://vietnamnet.vn/song-o-ngoi-lang-cua-nguoi-tay-lot-top-dep-nhat-the-gioi-2414596.html
Komentar (0)