Namun, perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang pesat menciptakan tantangan baru, yang memaksa sistem pendidikan beradaptasi agar tetap unggul.
Di sebuah kelas taman kanak-kanak di Finlandia, Marie meminta murid-muridnya untuk menulis cerita horor dengan bantuan AI. Anak-anak memilih karakter, alur cerita, dan genre, sementara guru memasukkan saran-saran tersebut ke dalam sistem AI.
Hasilnya, AI tidak hanya menciptakan cerita, tetapi juga ilustrasi yang disukai anak-anak. Latihan ini merupakan bagian dari konten edukasi untuk memperkenalkan AI kepada anak-anak dan membentuk pemikiran kritis dengan informasi di internet.
Finlandia telah mengajarkan literasi media kepada siswa taman kanak-kanak dan sekolah menengah atas sejak tahun 1970-an. Pada tahun 2014, ketika misinformasi menyebar di dunia maya, negara Nordik ini memperbarui kurikulumnya dengan memasukkan media sosial dan ponsel pintar.
Inti dari filosofi pendidikan Finlandia adalah gagasan bahwa literasi media adalah keterampilan hidup, bukan mata pelajaran yang terpisah. Dari matematika, bahasa, hingga sejarah, para guru memasukkan pelajaran tentang cara menganalisis informasi, mengevaluasi sumber, dan mengidentifikasi ujaran kebencian.
Menurut Institut Audiovisual Nasional Finlandia (KAVI), sejak usia 3 tahun, anak-anak terpapar lingkungan digital melalui pengamatan gambar dan suara. Pada usia 7 atau 8 tahun, mereka mulai belajar bertanya: Apakah yang mereka lihat daring dapat dipercaya? Seiring bertambahnya usia, mereka dilatih untuk mensintesis, memilih opini, dan memverifikasinya dengan berbagai sumber.
Berita palsu dulunya berupa berita atau artikel yang dilebih-lebihkan, tetapi AI kini membuat segalanya jauh lebih rumit. Teknologi deepfake menciptakan gambar, video , atau audio palsu yang semakin sulit dibedakan dari materi asli.
Materi-materi ini sulit dibedakan dari materi faktual. Artinya, siswa tidak hanya membutuhkan keterampilan mengenali emosi, tetapi juga kemampuan untuk memverifikasi berbagai sumber, melakukan pemeriksaan silang dengan alat bantu, dan mempertahankan sikap skeptisisme positif terhadap informasi apa pun.
Pendekatan Finlandia lebih dari sekadar "kiat mengajar tentang cara mengenali berita palsu." Guru didorong untuk kreatif dalam mengintegrasikan pemikiran kritis ke dalam mata pelajaran mereka, mulai dari menganalisis algoritma di kelas matematika hingga mengidentifikasi bahasa manipulatif di kelas sastra.
Beberapa sekolah bahkan mengharuskan siswa mengerjakan tugas tulisan tangan untuk membatasi penyalahgunaan AI, atau mengizinkan AI digunakan pada tahap pembangkitan ide tetapi tidak untuk produk akhir.
Pemerintah Finlandia juga telah mengeluarkan pedoman AI bagi para guru, termasuk rekomendasi untuk bersikap transparan tentang penggunaan AI di kelas, menjelaskan potensi bias, dan menunjukkan secara jelas hasil yang dihasilkan AI. Namun, para ahli mengakui bahwa integrasi AI ke dalam kurikulum formal berjalan lambat, karena siklus evaluasi pendidikan biasanya berlangsung hingga satu dekade.
"Uni Eropa sedang mengembangkan kerangka kerja umum untuk literasi AI bagi siswa, yang diperkirakan akan diterbitkan pada tahun 2026," ujar Kari Kivinen, pakar pendidikan di Kantor Hak Kekayaan Intelektual Uni Eropa. "Kerangka kerja ini akan memberikan panduan spesifik tentang cara menggunakan AI, cara bersikap transparan saat siswa menggunakan perangkat tersebut, dan cara mencapai hasil yang lebih andal. Tujuan utamanya adalah untuk menilai keterampilan AI siswa berusia 15 tahun di 100 negara."
Sumber: https://giaoducthoidai.vn/phan-lan-dua-chong-tin-gia-vao-nha-truong-post745144.html
Komentar (0)