Menghadapi situasi ini, biksu Thach Ngoc Han, kepala biara Pagoda Chang Hai, Komune Loc Quang, Distrik Loc Ninh, telah mencurahkan banyak upaya untuk menjadikan tempat ini sebagai rumah bersama bagi para pencinta alat musik tradisional Khmer. Setiap malam, para tetua di dusun tersebut akan berkumpul untuk berlatih musik tradisional seperti romvong, saravan, lam lieu... untuk ditampilkan selama Tahun Baru Chol Chnam Thmay dan festival Khmer lainnya. Kegiatan penuh makna ini telah berlangsung selama 3 tahun terakhir.
Saat ini, kelompok alat musik tradisional ini memiliki 6 anggota, yang sering tampil di pagoda, selama Tahun Baru tradisional Khmer.
Biksu Thach Ngoc Han berbagi: Menurut tradisi masyarakat Khmer, pagoda merupakan tempat untuk melestarikan kekayaan budaya, mulai dari bahasa, tulisan, hingga musik . Dulu, saya pernah mengajak para tetua di dusun untuk datang ke pagoda dan berlatih alat musik. Lambat laun, para tetua semakin mahir bermain musik. Ke depannya, jika ada kesempatan, saya akan mengorganisir lebih banyak grup musik seperti lima nada, ro bam, dan chhay dam untuk tampil, berkontribusi dalam melestarikan dan mempromosikan nilai-nilai budaya bangsa yang unik sesuai dengan arahan Partai dan Negara.
Setiap malam, alunan musik menggema di ruang pagoda yang tenang, menciptakan suasana sakral yang sarat dengan nilai-nilai budaya tradisional. Bapak Lam Sing, ketua kelompok alat musik tradisional di dusun Chang Hai, adalah salah satu orang pertama yang "menghidupkan kembali" kegiatan musik tradisional di wilayah tersebut. Dari pelajaran sederhana yang diwariskan leluhurnya, kini beliau telah menjadi seorang guru dan instruktur. "Saya belajar musik dari kakek-nenek saya. Kemudian, berkat dorongan dan dukungan kepala biara untuk membeli alat musik, kami berkesempatan berkumpul di pagoda untuk berlatih. Setiap malam, sedikit demi sedikit, kami belajar bersama dan mengenang lagu-lagu lama. Kami berusaha melestarikannya agar keturunan kami dapat mengenal dan terus mengembangkan alat musik tradisional ini," ungkap Bapak Lam Sing.
Mereka yang terbiasa memainkan alat musik tradisional sejak kecil kini telah tua, ingatan mereka terkadang kabur, jari-jari mereka tak lagi lincah. Namun, hal itu tidak menghentikan mereka untuk terus memainkan alat musik mereka, memainkan setiap ketukan drum, setiap ketukan sitar dengan sepenuh hati. Bapak Tran Ben, seorang anggota kelompok alat musik tradisional, berkata: Beberapa orang telah melupakan segalanya, kini mereka harus belajar dari awal. Setiap orang mengingat sedikit demi sedikit, yang kemudian menjadi banyak. Kelompok ini tidak hanya tampil saat Tet, tetapi juga mengajarkannya kepada anak cucu mereka. Itulah cara melestarikan alat musik tradisional dari generasi ke generasi.
Band ini tidak hanya tampil saat Tet, tetapi juga mengajarkannya kepada anak-cucu mereka, yang merupakan cara untuk melestarikan alat musik tradisional agar tetap lestari selamanya.
Tak hanya mereka yang telah berkecimpung dalam musik tradisional sejak kecil yang berkontribusi dalam melestarikan identitas, tetapi juga mereka yang belum pernah mengenal alat musik tradisional pun bersedia belajar dan berpartisipasi ketika mereka menyadari pentingnya melestarikan budaya Khmer. Salah satunya adalah Bapak Thach Phol dari Tra Vinh yang datang ke Binh Phuoc untuk memulai karier pada tahun 2004. Bapak Phol bercerita: “Awalnya, saya tidak tahu cara bermain musik, tetapi ketika saya melihat para tetua di pagoda bermain dengan baik dan kelompok itu kekurangan orang, saya memutuskan untuk bergabung. Meskipun alat musiknya kurang, kebahagiaan terbesar saya adalah dapat berkontribusi untuk menginspirasi generasi muda. Setiap kali saya tampil dan anak-anak memuji penampilan saya dan ingin belajar dari saya, saya merasa sangat bahagia dan termotivasi.”
Contoh-contoh di Pagoda Chang Hai tidak hanya menunjukkan upaya pelestarian alat musik tradisional Khmer, tetapi juga merupakan bukti nyata akan sebuah kebenaran sederhana: Ketika nilai-nilai budaya ditanam dengan tulus, nilai-nilai tersebut akan berakar dalam di hati masyarakat. Meskipun menghadapi kesulitan dan kekurangan, kerja sama setiap orang telah menciptakan komunitas budaya yang erat, di mana setiap melodi yang dimainkan adalah momen untuk melestarikan identitas.
Di sana, para "guru tanpa papan tulis atau rencana pembelajaran" setiap hari "menularkan api" kepada generasi berikutnya, bukan melalui teori-teori muluk, melainkan melalui semangat, kenangan, dan cinta mereka terhadap tanah air. Setiap malam musik di kuil kecil itu merupakan pesan yang hening namun kuat: budaya tidak muncul secara alami, melainkan hidup berkat orang-orang yang tahu cara melestarikan dan memeliharanya dengan sepenuh hati.
Sumber: https://baobinhphuoc.com.vn/news/19/174476/giu-gin-nhac-cu-dan-toc
Komentar (0)