Hubungan antara Amerika Serikat dan Iran, yang dulunya sekutu dekat pada awal Perang Dingin, telah berubah menjadi konfrontasi selama beberapa dekade.
Raja Iran Mohammad Reza Pahlavi (kedua dari kiri) bertemu dengan Presiden AS Jimmy Carter (kedua dari kanan) pada tahun 1977. (Sumber: Alamy) |
Meskipun penyebabnya sangat mendalam, insiden penyanderaan yang mengejutkan 45 tahun lalu dapat dilihat sebagai “titik puncak” yang menyebabkan hubungan AS-Iran terpuruk dalam jurang yang dalam.
Dulu sekutu
Melihat ketegangan saat ini antara AS dan Iran, hanya sedikit orang yang percaya bahwa kedua negara pernah menjadi sekutu terdekat pada saat konfrontasi Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet setelah Perang Dunia II.
Pada saat itu, Iran, di bawah pemerintahan Shah Pahlavi, dianggap sebagai “sahabat yang tak tergantikan” bagi Amerika Serikat, sumber minyak penting bagi Washington, sekaligus “pos terdepan” melawan pengaruh Soviet di kawasan tersebut.
Amerika Serikat dan Inggris mendukung Shah dalam mempertahankan kekuasaan, bahkan mendukung kudeta tahun 1953 yang menggulingkan Perdana Menteri Iran terpilih Mohammed Mossadegh, yang menasionalisasi industri minyak.
Intervensi AS dalam politik Iran, ditambah dengan monarki yang semakin otokratis di negara Timur Tengah tersebut, menyebabkan ketidakpuasan di kalangan rakyat negara tersebut, yang berujung pada Revolusi Islam yang "mengguncang bumi" pada tahun 1979.
Ayatollah Besar Khomeini, yang telah diusir oleh Raja Pahlavi pada tahun 1964, kembali ke Iran untuk memimpin rakyat dalam revolusi, menggulingkan monarki, dan mengubah negara itu menjadi Republik Islam.
Meskipun terkejut dengan perubahan ini, Amerika Serikat tidak langsung menghadapi Iran. Krisis diplomatik yang sesungguhnya antara kedua negara baru meletus pada November 1979 setelah mahasiswa Iran menyandera 63 orang di Kedutaan Besar AS di Teheran, termasuk Kuasa Usaha.
Jerami terakhir
Pada 4 November 1979, sekitar 500 mahasiswa Iran dari organisasi Muslim Student Follower menyerang Kedutaan Besar AS dan menyandera 63 orang. Alasan utamanya adalah pemerintah Washington mengizinkan Shah Pahlavi yang digulingkan pergi ke AS untuk menjalani perawatan kanker.
Menurut saluran American History, serangan itu tidak hanya terkait dengan perawatan medis Shah Pahlavi, tetapi juga merupakan cara para mahasiswa revolusioner Iran untuk menyatakan pemutusan hubungan dengan masa lalu, menegaskan hak Republik Islam untuk menentukan nasib sendiri, serta mengakhiri intervensi AS. Ayatollah Khomeini, kepala pemerintahan Iran, menolak semua tuntutan internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk membebaskan para sandera.
Setelah dua minggu ditawan, Iran setuju untuk membebaskan warga non-Amerika, perempuan, dan minoritas, tetapi 52 warga Amerika lainnya tetap ditawan selama 14 bulan berikutnya. Foto-foto para sandera yang ditutup matanya dan diborgol memicu kemarahan di Amerika Serikat dan mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas.
Pada Februari 1980, Iran menuntut Amerika Serikat untuk mengekstradisi Shah Pahlavi agar diadili di Teheran dan meminta maaf atas tindakannya di masa lalu. Presiden AS Jimmy Carter menolak, kemudian memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, menjatuhkan sanksi ekonomi, dan membekukan aset negara Timur Tengah tersebut.
Krisis penyanderaan menandai awal dari hubungan yang tegang antara AS dan Iran, mengubah hubungan tersebut dari sekutu menjadi rival. Sejak saat itu, "kebekuan" hubungan kedua negara terus berlanjut, mencerminkan fluktuasi dalam hubungan internasional dan politik.
Pada tahun 2015, 36 tahun setelah penculikan, setiap sandera dalam krisis tersebut diberikan kompensasi sebesar $4,4 juta oleh Amerika Serikat. |
Penyelamatan gagal
Di bawah tekanan untuk menyelamatkan para sandera, Presiden Jimmy Carter meminta Departemen Pertahanan AS untuk menyusun rencana aksi. Operasi "Eagle Claw" ditugaskan kepada pasukan komando paling elit di negara itu, Delta.
Operasi tersebut, yang berlangsung selama dua malam dan dimulai pada tanggal 24 April 1980, melibatkan beberapa unit militer AS, termasuk Angkatan Udara, Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Marinir.
Rencananya, pada malam pertama, delapan helikopter akan lepas landas dari kapal induk USS Nimitz di Laut Arab menuju Gurun 1, sebuah wilayah rahasia di Iran tengah, untuk menjemput tim Delta yang sedang bergerak dari pangkalan di Oman. Delapan helikopter tersebut akan membawa tim Delta ke Gurun 2, 80 km selatan Teheran, untuk bersembunyi dan menunggu waktu beraksi. Pada malam kedua, tim akan melakukan perjalanan dengan truk ke Teheran untuk menyusup ke Kedutaan Besar AS guna menyelamatkan para sandera.
Namun, operasi tersebut tidak berjalan sesuai rencana. Setibanya di Gurun 1, helikopter mengalami masalah teknis dan operasi terpaksa dibatalkan. Saat penarikan, sebuah pesawat C-130 yang membawa bahan bakar dan pasukan bertabrakan dengan sebuah pesawat angkut militer EC-130E, menyebabkan ledakan besar yang menewaskan delapan tentara. Operasi "Eagle Claw" gagal, dan tidak ada sandera yang diselamatkan.
Pada 27 Juli 1980, Shah Pahlavi wafat di Kairo. Para mahasiswa Muslim menyatakan bahwa mereka tidak akan membebaskan para sandera sampai aset Shah dikembalikan. Pada September 1980, Ayatollah Khomeini menetapkan empat syarat pembebasan para sandera, yaitu pengembalian aset Pahlavi oleh Amerika Serikat, pembebasan aset Iran yang dibekukan, pencabutan sanksi, dan komitmen untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Iran.
Banyak sejarawan percaya bahwa krisis penyanderaan Iran menghalangi Jimmy Carter untuk mencapai masa jabatan keduanya sebagai Presiden. Mantan Presiden AS itu sendiri juga mengatakan bahwa kegagalan "Eagle Claw" berkontribusi besar terhadap kemenangan lawannya dari Partai Republik, Ronald Reagan, dalam pemilu 1980.
Para sandera kembali ke Amerika Serikat pada 25 Januari 1981, lima hari setelah dibebaskan oleh Iran. (Sumber: Departemen Pertahanan AS) |
Diplomasi dalam aksi
Peran diplomat Aljazair dalam memediasi kedua belah pihak sudah diketahui secara luas. Namun, hanya sedikit orang yang tahu bahwa Jerman juga memainkan peran penting yang baru terungkap kemudian. Pada hari terakhir masa jabatannya, 20 Januari 1981, Presiden Jimmy Carter berkata: "Jerman membantu dengan cara yang tidak akan pernah bisa saya ungkapkan kepada dunia."
Sejarawan Frank Bosch dan majalah Die Spiegel kemudian menyoroti seruan terbuka tersebut, dengan peran kunci dimainkan oleh Duta Besar Jerman untuk Iran, Gerhard Ritzel. Ritzel diangkat menjadi Duta Besar Jerman untuk Teheran pada tahun 1977, ketika Shah Iran masih berkuasa. Namun, ia segera menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok oposisi Islam fundamentalis, termasuk mereka yang kemudian berkuasa setelah Revolusi 1979.
Setelah Ayatollah Khomeini kembali ke Iran dan merebut kekuasaan, Tn. Ritzel dengan terampil menjaga kontak, menggambarkan Ayatollah Khomeini sebagai seorang "kemanusiaan" dan menekankan kemungkinan kerja sama antara Barat dan rezim baru.
Ketika krisis penyanderaan berlanjut dan menjadi lebih tegang, Jerman memainkan peran kunci dalam negosiasi rahasia.
Teheran khawatir akan serangan balasan dari Washington dan ingin mendapatkan kembali $12 juta yang dibekukan di bank-bank AS dan aset-aset Shah. Perang Iran-Irak, yang pecah pada 22 September 1980, juga mengubah dinamika negosiasi karena Teheran berfokus pada penanganan ancaman baru tersebut.
Pada Mei 1980, para pejabat senior AS, seperti Menteri Luar Negeri Edmund Muskie, mulai menghubungi Duta Besar Jerman Ritzel untuk mencari jalan keluar dari krisis. Ritzel kemudian bertemu dengan Ayatollah Khomeini di Masyhad untuk menyampaikan pesan dari Washington dan mencoba membujuk para pemimpin Iran.
Sekitar seminggu kemudian, negosiasi rahasia berlangsung di wisma tamu Kementerian Luar Negeri Jerman di Bonn, dikoordinasikan oleh Menteri Luar Negeri negara tuan rumah, Hans Dietrich Genscher. Berkat mediasi Jerman yang sabar dan terampil, para pihak akhirnya mencapai kesepakatan pada 19 Januari 1981. Kesepakatan tersebut menyatakan bahwa Amerika Serikat berjanji untuk mencabut tindakan pembekuan aset Iran, dengan imbalan Teheran akan membebaskan semua sandera.
Pada 20 Januari 1981, di hari yang sama ketika Ronald Reagan dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-40, seluruh 52 sandera Amerika akhirnya dibebaskan. Mereka dibawa ke pangkalan Angkatan Udara AS di Wiesbaden, Jerman, mengakhiri krisis penyanderaan terpanjang dalam sejarah diplomatik Amerika.
Menurut sejarawan Jerman Frank Bosch, tanpa mediasi negara Eropa Tengah, kesepakatan itu mungkin tidak mungkin tercapai.
Krisis penyanderaan Iran tidak hanya menjadi pelajaran dalam diplomasi dan konflik politik, tetapi juga demonstrasi nyata tentang kekuatan negosiasi dalam menyelesaikan konflik internasional.
Puluhan tahun kemudian, pelajaran tahun 1979 masih bergema dalam hubungan AS-Iran saat ini dan terus diingat dalam konteks tantangan saat ini, seperti kisah kesepakatan nuklir 2015 dan konflik regional yang sedang berlangsung di Timur Tengah.
Akan tetapi, apakah pemahaman dan dialog dapat meredakan perselisihan yang berkepanjangan masih menjadi pertanyaan terbuka.
[iklan_2]
Sumber: https://baoquocte.vn/cu-no-chan-dong-lich-su-tu-ban-hoa-thu-giua-my-va-iran-293741.html
Komentar (0)