Saya sering mengunggah tautan yang saya temukan daring ke grup keluarga saya agar anak-anak saya bisa membacanya. Saya melakukannya karena saya merasa ini menarik.
Anak-anak saya, satu kuliah, satu SMA. Mereka bertanya kenapa saya melakukan itu. Saya menjawab: Menurut saya itu menarik. Mereka bertanya lagi: Sudahkah kamu membacanya? Saya tergagap: Menurut saya judulnya menarik.
Ya sudahlah. Aku kehilangan poin dengan anak-anakku.
Sejujurnya, pekerjaan selalu menyita waktu saya, jadi membaca buku, bahkan e-book, jarang saya lakukan. Saya sering menghabiskan waktu luang saya yang terbatas di siang hari untuk menjelajahi jejaring sosial dengan tujuan memulihkan jiwa. Tautan yang saya temukan di sana tampak menarik, tetapi isinya seringkali menipu. Saya buru-buru mengirimkannya kepada anak-anak saya, yang terkadang terasa kurang bijaksana. Ketika mereka bertanya apakah saya sudah membacanya, itu hanyalah celaan ringan, tetapi mereka bisa saja langsung mengatakan bahwa pendekatan saya terhadap budaya membaca bermasalah.
Dan bukan hanya saya. Rekan kerja, teman, dan orang-orang yang saya kenal. Banyak dari mereka juga menyuapi anak-anak mereka "mi instan" melalui tautan yang tidak terverifikasi dan memaksa mereka untuk membaca. Buku-buku yang dianggap "mi instan" itu memang menarik, tetapi penuh pesona, rayuan, provokasi, dan hasutan. Semuanya ada di sana. Ia muncul di platform media sosial sebagai umpan, dan jika kita tidak berhati-hati, kita akan mendorong anak-anak kita menjadi korban.
Suatu hari, saat libur kerja, saya mengajak anak-anak ke mal saat pameran buku bekas. Saya menyeret mereka ke kedai kopi terdekat, sementara mereka terus-terusan ngotot melihat-lihat buku. Saya memanjakan mereka dengan memberikan uang 500.000 VND untuk memuaskan mereka, sementara saya pergi ke kedai kopi, sampai anak-anak kesulitan membawa setumpuk buku dan meletakkannya di atas meja. Buku-buku itu sudah usang, ada yang berjilid. Saya tanya harganya berapa, anak saya membuka tangan dan bilang pas-pasan saja. Ia tak segan-segan mengeluarkan uang untuk membeli buku bekas karena buku-buku itu sangat bagus, terpercaya, dan belum tentu tersedia daring. Seolah-olah ia ingin mengejek budaya membaca dan cara saya memilih buku.
Waktu anak saya SD, setiap awal Mei, dia meminta saya mendaftar kartu pembaca musim panas di perpustakaan. Saya terkejut ketika suatu hari, saya terlambat hampir 30 menit dan dia masih belum naik bus. Saya masuk ke ruang baca dan melihatnya di dekat rak buku, sementara hanya pustakawan yang menunggu di luar. Pustakawan itu bilang dia yakin dengan anaknya. Dia bilang dia menemukan buku yang sangat disukainya, jadi dia memanfaatkan kesempatan itu untuk membaca semuanya. Buku itu baru saja diterima perpustakaan untuk diedarkan.
Membaca, melihat buku, dan terlebih lagi, budaya membaca. Hal-hal itu tampaknya semakin jauh dalam kehidupan modern. Dulu saya selalu mengajak anak-anak saya ke pameran buku atas saran mereka. Kebanyakan orang dewasa mengajak anak-anak mereka ke pameran buku lalu berkumpul di suatu tempat untuk mengobrol. Yang lain asyik bermain ponsel dan duduk di kafe. Banyak anak-anak berlalu-lalang di depan pajangan buku seperti bayangan, lalu pergi duduk di kafe bersama orang dewasa.
Hari Buku dan Budaya Membaca Vietnam kembali tiba (21 April). Tahun ini, anak-anak saya telah menyelesaikan masa sekolah mereka dan beranjak ke jenjang yang lebih tinggi. Saya senang buku-buku yang mereka baca telah membantu mereka tumbuh dewasa. Saya menghabiskan pagi hari membawa pulang setumpuk buku, berharap mereka akan menyukainya. Hal pertama yang saya katakan kepada mereka ketika saya menyerahkan buku-buku itu adalah: Sekarang, ambil buku kalian. Mereka tersenyum, karena ayah mereka mengerti mereka. Saya juga berkata pada diri sendiri bahwa ketika saya lelah, saya juga akan mengambil buku-buku saya. Buku yang bagus seperti terapi untuk menenangkan jiwa.
Kebahagiaan
Sumber
Komentar (0)