Dalam beberapa jam pada pagi hari tanggal 22 September, di distrik Kon Plong, terjadi 7 gempa bumi yang menyebabkan gempa susulan dengan kekuatan mulai dari 2,7 hingga 4,4 SR, tetapi tidak ada kerusakan yang ditimbulkan, menurut Institut Geofisika.
Gempa berkekuatan 4,4 skala Richter terjadi di Kabupaten Kon Plong, Provinsi Kon Tum, pukul 07.45 WIB, dengan kedalaman sekitar 8 km. Warga di wilayah sekitar seperti Kabupaten Kon Ray dan Kota Kon Tum (Provinsi Kon Tum) juga merasakan getaran tersebut. Sekitar pukul 08.00-08.30 WIB, dua gempa susulan terjadi pada kedalaman 10 km, dengan gempa susulan berkekuatan 2,7 hingga 2,8 skala Richter. Gempa terbaru terjadi pukul 10.25 WIB dengan kekuatan 3,6 skala Richter. Kekuatan gempa-gempa ini tidak berpotensi menimbulkan bencana alam. Pusat Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Tsunami, Institut Geofisika, terus memantau gempa-gempa ini.
Episentrum gempa berkekuatan 3,6 skala Richter pada pagi hari tanggal 22 September. Sumber: Pusat Informasi Gempa dan Peringatan Tsunami
Dr. Nguyen Xuan Anh, Direktur Institut Geofisika, menyatakan bahwa Kon Tum berada dalam rantai gempa terstimulasi dan rentang gempa lemah. Oleh karena itu, gempa maksimum di wilayah tersebut tidak melebihi 5,5 derajat. Melalui pengamatan, penyebab fenomena di atas berkaitan dengan gempa terstimulasi yang disebabkan oleh reservoir.
Pada bulan Juli tahun ini, dalam waktu kurang dari sepuluh jam pada tanggal 7 Juli, distrik Kon Plong mengalami 12 gempa bumi dengan gempa susulan berkekuatan 2,5 hingga 4,2 SR. Menurut Dr. Xuan Anh, fenomena berulang ini menunjukkan bahwa "gempa bumi yang dipicu juga terjadi secara berulang. Ada kalanya gempa bumi terjadi secara berurutan, dan ada kalanya hanya beberapa kali, yang berkaitan erat dengan proses operasi penyimpanan air waduk hidroelektrik," ujarnya.
Sebelumnya, Associate Professor Dr. Nguyen Hong Phuong, seorang seismolog di Institut Geofisika, menyampaikan kepada VnExpress bahwa penyebab gempa bumi yang diinduksi tersebut dipahami sebagai dampak manusia terhadap alam, bukan gempa bumi alami seperti di wilayah utara, yang disebabkan oleh zona patahan alami.
Menurut Associate Professor Phuong, gempa bumi terinduksi memiliki aturan yang mudah dipahami, dan sebagian besar terjadi di daerah dengan waduk aktif, terutama waduk hidroelektrik atau waduk besar. Ketika waduk terisi air, jumlah air tersebut menyebabkan tekanan yang besar di dasar waduk, dikombinasikan dengan patahan lokal (bahkan yang kecil sekalipun), yang meningkatkan tekanan pada kolom air besar, akan menyebabkan gempa bumi terinduksi.
Gempa bumi induksi biasanya bersifat siklus, terjadi setelah periode akumulasi air dan musim hujan. Setelah mencapai puncak tertentu, gempa bumi akan berangsur-angsur mereda, membentuk serangkaian gempa bumi sedang dan kecil, lalu berangsur-angsur mereda. "Lamanya meredanya perlu dikaji, tergantung pada stasiun pemantau setempat, karena siklusnya akan berbeda di setiap wilayah," ujarnya.
Bapak Xuan Anh mengatakan bahwa pemantauan aktivitas gempa bumi masih perlu dilakukan untuk mendeteksi anomali dan memberikan peringatan kepada masyarakat agar merasa aman. Beliau juga mencatat bahwa penilaian bahaya gempa bumi diperlukan dan perlu diperbarui setiap tahun untuk mendukung perencanaan pembangunan sosial -ekonomi dan desain tahan gempa untuk semua jenis pekerjaan, mulai dari area kunci hingga area permukiman.
Statistik menunjukkan bahwa dalam 117 tahun, dari tahun 1903 hingga 2020, wilayah Kon Plong hanya mencatat sekitar 33 gempa bumi, dengan magnitudo 2,5 ke atas. Namun, dari tahun 2021 hingga sekarang, telah terjadi lebih dari 200 gempa bumi baru. Para ahli mengatakan bahwa sangat sulit untuk memprediksi secara pasti kapan gempa bumi akan terjadi.
Nhu Quynh
[iklan_2]
Tautan sumber
Komentar (0)