Berdirinya Sekolah Tinggi Seni Rupa Indochina (École des Beaux-Arts de l'Indochine - EBAI) pada tahun 1925 meletakkan dasar bagi seni rupa Vietnam modern.
Selama dua dekade keberadaannya, sekolah ini telah melatih generasi pelukis dan pematung berbakat, yang memiliki pengetahuan dalam teknik akademis Barat dan berupaya memasukkan bahan dan tema nasional ke dalam karya mereka.
Namun, pergolakan sejarah tahun 1945 menghadirkan tantangan baru bagi para seniman. Ketika EBAI terpaksa tutup, jalur seni rupa seolah terhenti. Namun, dalam konteks inilah seni rupa Vietnam menemukan misi baru: mendampingi bangsa dalam perang perlawanan melawan kolonialisme Prancis.

Setelah Revolusi Agustus, banyak seniman meninggalkan kota-kota mereka menuju zona perlawanan Viet Bac. Kondisi perlawanan sangat keras dan bahan-bahan lukis langka, sehingga mereka hanya memiliki sedikit kesempatan untuk menciptakan lukisan minyak atau sutra yang rumit seperti sebelumnya. Sebagai gantinya, sketsa dengan pensil, tinta, arang, dan guas menjadi cara utama berkarya. Namun, kesederhanaan inilah yang menghasilkan daya artistik yang luar biasa.
Goresan cepat dan ringkas dengan sedikit warna tetap mampu menggambarkan secara realistis perjuangan dan kehidupan kerja tentara dan rakyat kita. Lukisan bukan hanya karya seni, tetapi juga dokumen berharga, yang mencerminkan realitas nyata perang perlawanan.
Salah satu karya khasnya adalah sketsa Anh Lu (1949, saat ini menjadi koleksi Museum Seni Quang San, Kota Ho Chi Minh) karya To Ngoc Van. Hanya dengan beberapa goresan arang sederhana, ia menggambarkan penampilan, sikap, dan semangat pantang menyerah seorang prajurit Resimen Ibu Kota.
Tak hanya berkarya, To Ngoc Van juga memainkan peran penting dalam karier seni perlawanan. Ia menjadi Kepala Sekolah Seni Perlawanan pertama di Viet Bac pada awal 1950-an. Di bawah bimbingannya, banyak generasi seniman muda belajar dan berpartisipasi dalam perang, membentuk tim seni revolusioner.
Bersama To Ngoc Van, seniman Tran Van Can, Nguyen Sang, Huynh Van Gam, Nguyen Tu Nghiem, Luu Cong Nhan, dan lain-lain juga aktif berkarya. Mereka menggambarkan tentara, buruh, ibu-ibu pejuang, zona perang, dan pasukan yang akan bertempur. Banyak sketsa, guas, dan lukisan tinta Tiongkok yang sangat menyentuh, mencerminkan semangat optimis dan tekad bangsa.
Dari konteks perang inilah sebuah seni baru terbentuk - seni perlawanan revolusioner. Menilik kembali periode 1945 hingga 1954, dapat ditegaskan bahwa seni Vietnam telah mengalami transformasi besar. Dari keindahan romantis, seni telah dikaitkan erat dengan cita-cita revolusioner, menjadi senjata spiritual di garis depan budaya dan ideologis.
Bapak Nguyen Thieu Kien, Direktur Museum Seni Quang San, berkomentar: “Melihat kedua karya Nguyen Huyen dan To Ngoc Van, kita melihat sebuah gerakan besar dalam seni rupa Vietnam. Bukan hanya keindahan garis dan komposisi, tetapi juga wadah untuk menyampaikan identitas dan semangat nasional. Dari keindahan romantis perdamaian , seni telah beranjak ke semangat perlawanan yang tangguh, meninggalkan warisan yang kaya akan seni sekaligus membawa jiwa budaya Vietnam.”
Sketsa-sketsa medan perang pada periode ini memang telah menjadi saksi sejarah. Sketsa-sketsa ini tidak hanya merekam gambaran perang perlawanan bangsa yang panjang, tetapi juga menegaskan posisi seni dalam kehidupan spiritual bangsa. Ini merupakan warisan berharga yang meletakkan dasar bagi perkembangan seni rupa Vietnam yang revolusioner dan modern di kemudian hari.
Kini, ketika menikmati karya seni periode 1945-1954, masyarakat tidak saja merasakan keindahan seninya, tetapi juga menyaksikan kuatnya vitalitas semangat perlawanan.
Sumber: https://www.sggp.org.vn/my-thuat-viet-nam-giai-doan-1945-1954-ban-linh-nghe-thuat-trong-khang-chien-post811319.html
Komentar (0)