Karena kurangnya dukungan teknologi modern, orang-orang zaman dulu membutuhkan banyak waktu untuk membuat peta dan harus mensintesis informasi dari banyak sumber yang berbeda.
Peta Anaximander tentang " dunia yang dikenal". Foto: Wikimedia
Para pembuat peta kuno mengandalkan kombinasi seni, eksplorasi, matematika, dan imajinasi untuk menggambarkan luasnya wilayah yang mereka kenal dan banyak wilayah yang mereka yakini keberadaannya. Dalam banyak kasus, peta-peta awal ini berfungsi sebagai alat bantu navigasi sekaligus wahyu mistis.
Orang-orang kuno membutuhkan waktu yang lama untuk membuat peta. Peta merupakan hasil karya para pelancong, penjelajah, ahli geografi, kartografer, matematikawan, sejarawan, dan cendekiawan lainnya selama beberapa generasi yang menyusun fragmen-fragmen informasi. Akibatnya, karya-karya awal didasarkan pada beberapa pengukuran aktual, tetapi juga pada banyak spekulasi.
Salah satu deskripsi terperinci pertama tentang "dunia yang dikenal" dibuat oleh Anaximander, seorang filsuf yang hidup sekitar tahun 610-546 SM dan dianggap sebagai salah satu dari Tujuh Orang Bijak Yunani. Frasa "dunia yang dikenal" ditekankan karena peta lingkaran Anaximander menunjukkan daratan Yunani (di pusat dunia) dan sebagian Eropa, Asia Selatan, dan Afrika Utara. Bagi sang bijak, benua-benua ini menyatu membentuk lingkaran yang dikelilingi air. Bumi dianggap datar pada masa itu.
Pada abad ke-1 SM, Eratosthenes dari Kirene, seorang polymath Yunani, menghitung keliling planet kita dengan membandingkan hasil survei yang dikumpulkan di Perpustakaan Alexandria. Meskipun sebelumnya banyak orang percaya bahwa Bumi itu bulat, para ilmuwan modern tidak memiliki catatan tentang bagaimana mereka mengukur keliling Bumi. Eratosthenes merupakan pengecualian.
Metode Eratosthenes sederhana dan siapa pun dapat melakukannya saat ini. Ia mengukur panjang bayangan yang dihasilkan oleh tongkat vertikal di dua kota pada hari yang sama. Jarak utara-selatan antara kedua kota dan sudut yang diukur menghasilkan rasio yang memungkinkannya menghitung keliling Bumi dengan akurasi relatif (sekitar 40.000 km). Setelah Eratosthenes mempublikasikan hasilnya, peta Bumi datar terus beredar untuk sementara waktu, tetapi akhirnya menghilang.
Eratosthenes juga mengembangkan metode untuk menentukan lokasi tempat secara lebih akurat. Ia menggunakan sistem kisi—mirip dengan yang terdapat pada peta modern—untuk membagi dunia menjadi beberapa bagian. Sistem kisi ini memungkinkan orang memperkirakan jarak mereka dari lokasi mana pun yang tercatat. Ia juga membagi dunia yang dikenal menjadi lima zona iklim—dua zona beriklim sedang, dua zona kutub di utara dan selatan, dan satu zona tropis di sekitar khatulistiwa. Hal ini menciptakan peta yang jauh lebih kompleks yang menampilkan dunia secara sangat detail.
Pada abad-abad berikutnya, peta menjadi lebih kompleks karena para pembuat peta Romawi dan Yunani terus mengumpulkan informasi dari para pelancong dan pasukan. Setelah menyusun dokumen-dokumen tersebut, cendekiawan Claudius Ptolemeus menulis buku terkenal Geographia dan peta-peta yang didasarkan padanya.
Karya Ptolemeus, yang disusun sekitar tahun 150 M, sangat bergantung pada sumber-sumber yang lebih tua. Namun, yang membuat Ptolemeus begitu berpengaruh adalah karena ia memberikan penjelasan yang jelas tentang bagaimana ia menciptakan karyanya sehingga orang lain dapat meniru tekniknya. Geographia memuat koordinat terperinci untuk setiap lokasi yang ia ketahui (lebih dari 8.000 lokasi). Ptolemeus juga memperkenalkan konsep lintang dan bujur, yang masih digunakan orang hingga saat ini.
Geographia diperkenalkan ke Eropa pada abad ke-15. Selama bertahun-tahun, para cendekiawan Muslim meninjau, mengkaji, dan bahkan merevisi karya Ptolemeus. Karyanya, bersama dengan peta-peta baru karya para ahli geografi berpengaruh seperti Muhammad al-Idrisi, menjadi sangat populer di kalangan penjelajah dan pembuat peta di Belanda, Italia, dan Prancis pada pertengahan abad ke-18.
Bagian dari Atlas Katalan. Foto: Wikimedia
Perkembangan penting dalam pembuatan peta adalah penemuan kompas magnetik. Meskipun pengetahuan tentang magnetisme telah ada sejak lama, penerapannya pada perangkat navigasi yang andal baru dimulai sekitar abad ke-13. Kompas membuat banyak peta lama menjadi usang untuk navigasi. Selanjutnya, muncullah peta portolan, sebuah panduan bahari yang digunakan untuk bernavigasi antarpelabuhan.
Contoh peta portolan yang menonjol adalah Atlas Katalan, yang dibuat oleh para kartografer untuk Raja Charles V dari Prancis. Mereka membuat peta tersebut dengan menggabungkan informasi dari berbagai sumber. Tidak jelas siapa pembuatnya, tetapi banyak ahli mengaitkannya dengan Abraham Cresques dan putranya, Jahuda.
Atlas Katalan penuh dengan informasi tentang tempat-tempat nyata, tetapi juga mengandung banyak detail fantastis. Masalah ini muncul akibat kompilasi peta dari berbagai sumber, termasuk kisah para pelancong dan mitos. Akibatnya, binatang buas, naga, monster laut, dan negeri khayalan terus muncul di banyak peta hingga lama setelahnya.
Thu Thao (Menurut Ilmu Pengetahuan IFL )
[iklan_2]
Tautan sumber
Komentar (0)