Bahasa Indonesia: Pada kesempatan peringatan 100 tahun Hari Pers Revolusioner Vietnam (21 Juni 1925 - 21 Juni 2025), dalam konteks kecerdasan buatan (AI) yang sangat mengubah semua bidang kehidupan, termasuk jurnalisme, wartawan VNA di Brussels berkesempatan untuk berbicara dengan dua pakar jurnalisme di Universitas Bebas Brussels (ULB) di Belgia: Bapak David Grunewald, seorang dosen komunikasi, dan Bapak Alain Gérard, Pemimpin Redaksi majalah “Latitude”, yang juga seorang dosen dan pelatih jurnalisme dengan lebih dari 30 tahun pengalaman.
Menilai apakah AI merupakan alat yang ampuh, pendamping atau ancaman, kedua ahli sepakat bahwa AI telah membawa perubahan besar pada jurnalisme.
“AI menghadirkan banyak peluang, tetapi juga menimbulkan tantangan nyata bagi editor dan jurnalis,” kata David Grunewald.
Dari segi peluang, AI membantu mempercepat proses pengumpulan, pencarian, dan analisis informasi dan data. Teknologi AI generatif tidak hanya mendukung editor dalam membuat konten, tetapi juga dapat membuat beberapa versi artikel, menghasilkan gambar, dan video ilustrasi dengan cepat, sehingga membantu mengoptimalkan proses penerbitan.
Namun, di samping manfaatnya yang luar biasa, AI juga menimbulkan kekhawatiran serius. Bapak Alain Gérard memperingatkan: "Salah satu bahaya terbesar adalah AI dapat secara bertahap menggantikan jurnalis sungguhan, manusia biasa seperti Anda dan saya."
Untuk menggambarkan hal ini, Tuan Gérard menceritakan kisah foto yang memenangkan hadiah pertama pada kompetisi fotografi internasional yang diselenggarakan oleh Sony pada tahun 2023.
Setelah menerima penghargaan, penulisnya secara terbuka mengakui bahwa foto tersebut sepenuhnya dihasilkan oleh AI. Ia menekankan: "Perlu dicatat bahwa bahkan para ahli terkemuka pun tidak dapat membedakan antara yang asli dan yang palsu. Hal ini menunjukkan kekuatan, tetapi juga bahaya besar yang dapat ditimbulkan oleh AI generatif."
Dalam hal jurnalisme data, kedua pakar ini yakin bahwa bidang ini dapat dengan mudah didominasi oleh AI. Menurut Bapak David Grunewald, ada satu aspek jurnalisme yang dapat sepenuhnya dikuasai AI, yaitu jurnalisme data.
Artikel yang merangkum data dan statistik peristiwa dapat ditulis oleh AI dengan sangat cepat dan akurat. Ia berkomentar: "Ini akan memberi jurnalis lebih banyak waktu untuk menyelidiki, meneliti secara mendalam, dan mengembangkan bentuk jurnalisme yang lebih mendalam."
Namun, Tn. Grunewald juga memperingatkan risiko AI menciptakan berita palsu, video palsu menggunakan teknologi AI, juga dikenal sebagai teknologi deepfake, informasi terdistorsi, dan penyebaran konten palsu ini menjadi lebih mudah dari sebelumnya.
"Peran jurnalisme adalah mempertahankan posisinya sebagai tempat verifikasi informasi, titik tumpu kebenaran. Inilah salah satu tantangan terbesar jurnalisme," tegasnya.
Di tengah gelombang berita palsu, pembentukan opini publik, dan teknologi AI yang semakin dominan, peran jurnalis di abad ke-21 menjadi lebih penting, tidak hanya sebagai reporter berita tetapi juga sebagai pembela kebenaran.
Dosen Jurnalisme Alain Gérard, Pemimpin Redaksi majalah Latitude. (Foto: Huong Giang/VNA)
Alain Gérard menekankan bahwa tugas utama jurnalis saat ini adalah memastikan keaslian informasi. "Saya sering meminta mahasiswa saya untuk membedakan antara 'komunikasi' dan 'informasi'. Komunikasi adalah reproduksi dan transmisi informasi yang ada. Namun, jurnalisme adalah tentang mempertanyakan, memverifikasi, membandingkan, dan memverifikasi informasi tersebut. Itulah inti dari jurnalisme," ujar Gérard.
Wartawan harus hadir di tempat kejadian perkara, mengakses sumber resmi, mewawancarai pihak-pihak terkait, dan mengolah informasi berdasarkan asas objektivitas, transparansi, dan kepatuhan terhadap asas “5W 1H” (Siapa, Apa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana).
Menurut Bapak Gérard, ledakan AI justru membuat prinsip verifikasi informasi menjadi semakin penting: "Tanpa sumber yang akurat, kita tidak tahu dari mana informasi berasal. Masyarakat kemudian akan dipimpin oleh mesin yang dapat diprogram oleh siapa pun sesuai keinginannya."
Kedua ahli tersebut mendorong para jurnalis untuk tidak menghindar dari AI tetapi melihatnya sebagai alat yang ampuh untuk mendukung pekerjaan mereka.
"Anggaplah AI sebagai pendamping, asisten, selagi Anda masih menjadi pengemudi," tegas Grunewald. "Ketika jurnalis memahami dan tahu cara memanfaatkan potensi AI, mereka akan memiliki lebih banyak waktu untuk mendalami isu-isu yang lebih mendalam."
"Jika jurnalis tidak belajar dan beradaptasi, mereka akan seperti dinosaurus yang pernah mendominasi tetapi punah karena tidak dapat berevolusi cukup cepat untuk beradaptasi dengan lingkungan baru," kata Alain Gérard. "Agar tidak punah, jurnalis abad ke-21 harus terus mengasah keterampilan multimedia mereka: mulai dari teks, gambar, video, audio, hingga podcast."
Meskipun AI semakin menguasai banyak aspek proses jurnalisme, kedua pakar tersebut menegaskan bahwa manusia tetap tak tergantikan di pusat jurnalisme. Investigasi lapangan, analisis kontekstual, pertanyaan kritis, etika profesional, dan membela kebenaran adalah elemen inti yang hanya dapat dilakukan oleh jurnalis sejati.
“Masa depan jurnalisme bukanlah pilihan antara manusia dan mesin, melainkan kolaborasi cerdas antara keduanya untuk melayani publik dengan lebih baik,” pungkas David Grunewald.
Dengan pesatnya perkembangan AI, jurnalisme abad ke-21 memasuki periode transformasi yang mendalam dan belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam konteks ini, sebagaimana disampaikan para ahli, hanya jurnalis yang senantiasa menjaga integritas profesionalnya, mampu memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu, senantiasa belajar, berinovasi, dan teguh pada kebenaran yang dapat terus memenuhi misi mulianya: melayani publik dengan informasi yang akurat, objektif, dan tepercaya.
(Kantor Berita Vietnam/Vietnam+)
Sumber: https://www.vietnamplus.vn/co-hoi-thach-thuc-va-trach-nhiem-nghe-nghiep-bao-chi-trong-ky-nguyen-ai-post1044857.vnp
Komentar (0)